Kronologi mengenai migrasi bangsa Austronesia dari
Yunan ke Nusantara yaitu menurut pendapat
para ahli, pada periode 40.000 tahun yang lalu jenis manusia purba
Meganthropus, Pithecanthropus dan jenis Homo telah mengalami kepunahan.
Penghuni kepulauan Indonesia kemudian bergeser ke manusia-manusia migran yang
datang dari berbagai wilayah di Asia dan Australia. Proses migrasi awal
menunjukkan bahwa populasi-populasi kepulauan Indonesia berasal dari bangsa
Australo-Melanesia (Australoid) dan Mongoloid (atau lebih khusus lagi adalah
Mongoloid Selatan). Setelah itu datang lagi gelombang migrasi kedua yaitu
bangsa Austronesia (Melayu/Proto Melayu/Melayu Tua) yang berasal dari Yunan
(wilayah di propinsi Cina bagian Selatan). Migrasi mereka sendiri ke kepulauan
Indonesia berlangsung dalam dua gelombang.
Periode gelombang
pertama terjadi pada sekitar tahun 1500 SM, melalui dua jalur utama. Jalur
pertama dari Yunan melewati Siam, Malaya dan Sumatera (jalur Barat dan
Selatan). Jalur kedua dari Yunan, Vietnam,
Filipina kemudian masuk ke Indonesia melalui wilayah Sulawesi (jalur Timur dan
Utara). Dalam proses persebarannya mereka membawa kebudayaan neolitikum dari
pusatnya di Basson-Hoabinh, yang diantaranya adalah kapak persegi dan kapak
lonjong. Suku bangsa Indonesia sekarang yang termasuk keturunan bangsa Melayu
Tua atau Proto Melayu misalnya suku Toraja dan Dayak. Migrasi periode kedua
dari bangsa Malayu (Deutro Melayu/Melayu Muda) terjadi pada sekitar tahun 500
SM. Proses persebarannya melalui jalur daratan Asia kemudian Semenanjung Malaya
dan masuk ke Indonesia melalui Sumatera. Kedatangan bangsa ini sambil membawa
pengaruh budaya logam dari Dongson, seperti nekara, moko, dan kapak perunggu.
Suku bangsa Indonesia sekarang yang termasuk keturunan bangsa Melayu Muda atau
Deutero Melayu misalnya suku Jawa, Melayu, dan Bugis.
Proses migrasi bangsa Austronesia dari Yunan ke
Nusantara terdapat banyak variasi pada teori yang digunakan untuk menelitinya,
diantaranya yaitu:
Teori Awal Tentang Yunan
Teori awal tengan asal-usul Bangsa
Indonesia dikemukakan oleh sejarawan kuno sekaligus arkeolog dari Austria,
yaitu Robern Barron von Heine Geldern atau lebih dikenal von Heine Geldern
(1885-1968). Berdasarkan kajian mendalam atas kebudayaan megalitik di Asia
Tenggara dan beberapa wilayah di bagian Pasifik disimpulkan bahwa pada masa
lampau telah terjadi perpindahan (migrasi) secara bergelombang dari Asia
sebelah Utara menuju Asia bagian Selatan. Mereka ini kemudian mendiami wilayah
berupa pulau-pulau yang terbentang dari Madagaskar (Afrika) sampai dengan Pulau
Paskah (Chili), Taiwan, dan Selandia Baru yang selanjutnya wilayah tersebut
dinamakan wilayah berkebudayaan Austronesia. Teori mengenai kebudayaan
Austronesia dan neolitikum inilah yang sangat populer di kalangan antropolog
untuk menjelaskan misteri migrasi bangsa-bangsa di masa neolitikum (2000 SM
hingga 200 SM).
Teori von Heine Geldern tentang
kebudayaan Austronesia mengilhami pemikiran tentang rumpun kebudayaan Yunan
(Cina) yang masuk ke Asia bagian Selatan hingga Australia. Salah satunya pula
yang melandasi pemikiran apabila leluhur Bangsa Indonesia berasal dari Yunan.
Teori ini masih sangat lemah (kurang akurat) karena hanya didasarkan pada
bukti-bukti kesamaan secara fisik seperti temuan benda-benda arkeologi ataupun
kebudayaan megalitikum. Teori ini juga sangat mudah diperdebatkan setelah
ditemukannya catatan-catatan sejarah di Borneo (Kalimantan), Sulawesi bagian
Utara, dan Sumatera yang saling bertentangan dengan teori Out of Yunan.
Sayangnya, masih banyak pendidikan dasar di Indonesia yang masih mempertahankan
prinsip ‘Out of Yunan’.
Teori Linguistik
Teori mengenai asal-usul Bangsa
Indonesia kemudian berpijak pada studi ilmu linguistik. Dari keseluruhan bahasa
yang dipergunakan suku-suku di Nusantara memiliki rumpun yang sama, yaitu rumun
Austronesia. Akar dari keseluruhan cabang bahasa yang digunakan leluhur yang
menetap di wilayah Nusantara berasal dari rumpun Austronesia di Formosa atau
dikenal dengan rumpun Taiwan. Teori linguistik membuka pemikiran baru tentang
sejarah asal-usul Bangsa Indonsia yang disebut pendekatan ‘Out of Taiwan’.
Teori ini dikemukakan oleh Harry Truman Simandjuntak yang selanjutnya mendasar
teori moderen mengenai asal usul Bangsa Indonesia.
Pada prinsipnya, menurut pendekatan ilmu linguistik,
asal-usul suatu bangsa dapat ditelusuri melalui pola penyebaran bahasanya. Pendekatan ilmu
linguistik mendukung fakta penyebaran bangsa-bangsa rumpun Austronesia. Istilah
Austronesia sendiri sesungguhnya mengacu pada pengertian bahasa penutur. Bukti
arkeologi menjelaskan apabila keberadaan bangsa Austronesia di Kepulauan
Formosa (Taiwan) sudah ada sejak 6000 tahun yang lalu. Dari kepulauan Formosa ini
kemudian bangsa Austronesia menyebar ke Filipina, Indonesia, Madagaskar
(Afrika), hingga ke wilayah Pasifik. Sekalipun demikian, pendekatan ilmu
linguistik masih belum mampu menjawab misteri perpindahan dari Cina menuju
Kepulauan Formosa.
Pendekatan
Teori Genetika
Teori dengan pendekatan ‘Out of
Taiwan’ nampaknya semakin kuat setelah disertai bukti-bukti berupa kecocokan
genetika. Riset genetika yang dilakukan pada ribuan kromosom tidak menemukan
kecocokan pola genetika dengan wilayah di Cina. Temuan ini tentunya cukup
mengejutkan karena dianggap memutuskan dugaan gelombang migrasi yang berasal
dari Cina, termasuk di antaranya pendekatan ‘Out of Yunan’. Sebaliknya,
kecocokan pola genetika justru semakin memperkuat pendekatan ‘Out of Taiwan’
yang sebelumnya juga dijadikan dasar pemikiran arkeologi dengan pendekatan ilmu
linguistik.
Dengan menggunakan pendekatan ilmu
linguistik dan riset genetika, maka asal-usul Bangsa Indonesia bisa dipastikan
bukan berasal dari Yunan, akan tetapi berasal dari bangsa Austronesia yang
mendiami Kepulauan Formosa (Taiwan). Direktur Institut Biologi Molekuler, Prof.
Dr Sangkot Marzuki menyarankan untuk dilakukan perombakan pandangan yang
tentang asal-usul Bangsa Indonesia. Dari pendekatan genetika menghasilkan beragam pandangan
tentang pola penyebaran bangsa Austronesia. Hingga saat ini masih dilakukan
berbagai kajian mendalam untuk memperkuat pendugaan melalui pendekatan
linguistik tentang pendekatan ‘Out of Taiwan’.
Jalur Migrasi
Jalur migrasi berdasarkan
pendekatan ‘Out of Taiwan’ bertentangan dengan pendekatan ‘Out of Yunan’.
Pendekatan ‘Out of Yunan’ menerangkan migrasi Austronesia bermula dari Utara
menuju semenanjung Melayu yang selanjutnya menyebar ke wilayah Timur Indonesia.
Pendekatan ‘Out of Yunan’ dapat dilemahkan setelah ditelusuri berdasarkan
pendekatan linguistik dan diperkuat pula oleh pembuktian genetika.
Berdasarkan pendekatan ‘Out of Taiwan’, migrasi leluhur
dari Taiwan (Formosa) tiba terlebih dulu di Filipina bagian Utara sekitar 4500
hingga 3000 SM. Diduga migrasi dilakukan untuk memisahkan diri mencari wilayah
baru di Selatan. Akibat dari migrasi ini kemudian membentuk budaya baru,
termasuk diantaranya pembentukan cabang bahasa yang disebut
Proto-Malayo-Polinesia (PMP). Teori migrasi awal bangsa Austronesia dari
Formosa disampaikan oleh Daud A. Tanudirjo berdasarkan pandangan pakar
linguistik Robert Blust yang menerangkan pola penyebaran bangsa-bangsa
Austronesia.
Pada tahap selanjutnya sekitar 3500
hingga 2000 SM terjadi migrasi dari Masyarakat yang semula mendiami Filipina
dengan tujuan Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara. Migrasi yang berakhir di Maluku
Utara ini kemudian meneruskan migrasinya sekitar tahun 3000 hingga 2000 SM
menuju ke Selatan dan Timur. Migrasi di bagian Selatan menuju gugus Nusa
Tenggara, sedangkan di bagian Timur menuju pantai Papua bagian Barat. Dari
Papua Barat ini kemudian mereka bermigrasi lagi dengan tujuan wilayah Oseania
hingga mencapai Kepulauan Bismarck (Melanesia) sekitar 1500 SM.
Pada periode 3000 hingga 2000 SM,
migrasi juga dilakukan ke bagian Barat yang dilakukan oleh mereka yang
sebelumnya menghuni Kalimantan dan Sulawesi menuju Jawa dan Sumatera.
Selanjutnya, hijrah pun diteruskan menuju semenanjung Melayu hingga ke seluruh
wilayah di Asia Tenggara. Proses migrasi berulang-ulang dan menghabiskan masa
ribuan tahun tidak hanya membentuk keanekaragaman budaya baru, akan tetapi juga
pola penuturan (bahasa) baru.
Penutup
Teori asal-usul Bangsa Indonesia
dengan pendekatan ‘Out of Taiwan’ saat ini adalah teori paling mendukung karena
disertai bukti linguistik dan genetika. Kesamaan pola budaya Megalitikum hanya
bisa menjelaskan pola variasi budaya, akan tetapi belum mampu untuk menjelaskan
arus migrasi pertama kali. Pendekatan ‘Out of Taiwan’ pun bukannya tanpa celah.
Seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr Sangkot Marzuki, teori mengenai
keberadaan bangsa Austronesia berdasarkan pendekatan genetika juga masih
beragam dan belum menemukan titik temu.
Jika ditanya motif suku-suku bangsa ketika itu untuk
menggabungkan diri ke dalam NKRI bukanlah semata didasarkan atas kesamaan
nasib. Kesamaan asal usul leluhur sangat dimungkinkan bagi melatarbelakangi
keinginan untuk menyatukan kembali menjadi suatu bangsa. Kedatangan kolonial
Eropa yang meng-kapling wilayah menyebabkan suku-suku bangsa di wilayah
penyebaran Austronesia menjadi terpisah secara politik satu dengan yang lain. Tidak
mengherankan apabila catatan sejarah Majapahit dan Sriwijaya wilayah meng-klaim
Nusantara sebagai wilayah kekuasaan Austronesia.
Kisah tentang sejarah asal-usul
Bangsa Indonesia sesungguhnya masih belum terungkap penuh. Temuan terbaru dari
Prof. Dr Sangkot Marzuki bahkan menyatakan jika penyebaran bangsa dengan bahasa
Austronesia berawal dari wilayah Sunda (Jawa Barat). Perlu kiranya pemikiran
atau teori baru tentang asal-usul Bangsa Indonesia dikaji ulang. Untuk awal,
setidaknya dengan membebaskan terlebih dahulu paham ‘Out of Yunan’.
Sekalipun belum ditemukan
bukti-bukti genetika secara meyakinkan, suku bangsa Austronesia yang menempati
gugus kepulauan Formosa (Taiwan) diduga kuat bermigrasi dari wilayah Utara
(Cina). Rumpun bahasa Austronesia dan keluarga bahasa lainnya di Asia Tenggara
merupakan filum Bahasa Austrik. Dilihat dari kekerabatan linguistik (hipotesis
filum Austrik), semua bahasa di wilayah Tiongkok bagian Selatan memiliki
kedekatan (kekerabatan) dengan rumpun Bahasa Austrik. Jika hendak ditarik
benang merahnya, maka diskriminasi rasial tidak perlu terjadi di negeri ini.
Dengan memahami sejarah masa lalu dirinya sendiri, setidaknya bangsa ini akan
lebih bijaksana dalam memberikan sikap.