PENDAHULUAN
Rhinitis secara umum didefinisikan sebagai radang mukosa hidung. Rhinitis
merupakan kelainan umum yang
terjadi
pada 40% populasi. Rinitis alergi
adalah jenis rinitis kronis yang paling umum, yang terjadi
pada 10% - 20% populasi. Rhinitis alergi yang parah dikaitkan dengan penurunan
kualitas hidup, gangguan tidur dan penurunan kerja yang signifikan. (Small et al.,
2011).
Dahulu, rhinitis alergi dianggap sebagai gangguan yang terlokalisasi pada hidung dan
nasal, namun bukti saat ini menunjukkan bahwa hal itu mungkin merupakan
komponen penyakit saluran napas sistemik yang melibatkan seluruh saluran
pernapasan. Ada beberapa hubungan fisiologis, fungsional dan imunologis antara saluran
pernapasan bagian atas
(hidung, rongga hidung, sinus paranasal, faring dan laring) dan saluran
pernafasan bagian bawah (trakea, bronkial, bronchioles dan paru-paru). Dokter juga harus
menyadari hubungan antara rhinitis alergi dengan kondisi lain seperti asma,
dermatitis atopik, dan konjungtivitis. (Demoly et
al., 2013).
Menurut WHO-ARIA, Rhinitis Alergi diklasifikasikan berdasarkan kronisitas (intermiten atau
persisten), dan tingkat keparahan yang didasarkan pada gejala dan kualitas
hidup (ringan, atau sedang / berat). (Gupta et al., 2010).
Rhinitis ditemukan di semua ras manusia, pada
anak-anak lebih sering terjadi terutama anak laki-laki. Memasuki usia dewasa,
prevalensi laki-laki dan perempuan sama. Insidensi tertinggi terdapat pada
anak-anak dan dewasa muda dengan rerata pada usia 8-11 tahun, sekitar 80% kasus
rhinitis alergi berkembang mulai dari usia 20 tahun. Insidensi rhinitis alergi
pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia sehingga pada usia tua rhinitis
alergi jarang ditemukan (Bousquet et al., 2008).
VASKULARISASI
Bagian superior rongga hidung mendapat nutrisi dari
arteri etmoidalis, sementara bagian posterior dan inferior di vaskularisasi
oleh arteri maksilaris (Irawati et al., 2007).
INERVASI
Yang terlibat langsung adalah saraf kranialis
pertama untuk penghiduan, divisi optalmicus dan maksilaris dari saraf
trigeminus untuk impuls aferen sensorik lainnya, saraf fasialis untuk gerakan
otot – otot pernapasan pada hidung luar, dan sistem saraf otonom (Irawati et
al., 2007).
Ganglion sfenopalatina untuk mengontrol diameter
vena dan arteri hidung dan juga produksi mukus.
ETIOLOGI
- INHALAN (udara pernapasan) - debu rumah, tungau, human dander, jamur, bulu hewan
- INGESTAN (makanan)– susu, telur,kacang tanah, udang, dll.
- INJEKTAN (suntikan atau tusukan) – penisilin, sengatan lebah
- KONTAKTAN (kontak kulit atau mukosa) – bahan kosmetik, perhiasan
FAKTOR PREDISPOSISI
- Genetik
- Infeksi - sinusitis – asma
- Umur
- Kondisi sosial ekonomi dan kebugaran
- Pekerjaan
- Polusi udara atau asap rokok
- Konsentrasi alergen
- Musim – iklim, suhu, lembab, tekanan udara
- Stress psikis
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi Rinitis Alergi
- Tahap Sensitisasi:
- Kontak I tubuh akan membentuk IgE spesifik
- IgE spesifik menempel pada permukaan sel mastosit dan basofil yang mengandung granul
- Sensitization & IgE production
- Tahap Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)
- Paparan ulang alergen spesifik
- Degranulasi mastosit
- Histamin (efek utama)
- Serotonin
- ECF-A, NCF-A
- Prostaglandin D2 (PGD2)
- Leukotrient C4 (LTC4)
- PAF, dll
- Histamin sebagai efektor utama
- Rangsang saraf: gatal dan bersin
- Hipersekresi kelenjar : rinore
- Vasodilatasi dan permeabilitas kapiler meningkat
- Terjadi dalam beberapa menit dan puncaknya sampai 30 menit – 1 jam
- Tahap Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL)
- 30-40% penderita RA
- 2-4 jam setelah paparan, puncak 6-8 jam dan berakhir 24 jam atau 48 jam kemudian
- Gejala obstruksi nasi, bersin dan rinore
- Dalam mukosa hidung:
- Sel inflamasi
- IL-3, IL-4 dan IL-5
- ICAM-1
DIAGNOSIS
- Clinical history
- Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan Penunjang
ANAMNESIS
- Keluhan: Pasien datang dengan keluhan keluarnya ingus encer dari hidung (rinorea), bersin, hidung tersumbat dan rasa gatal pada hidung (trias alergi).
- Bersin merupakan gejala khas, biasanya terjadi berulang, terutama pada pagi hari. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap patologik dan perlu dicurigai adanya rhinitis alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase cepat. Gejala lain berupa mata gatal dan banyak air mata.
FAKTOR RISIKO
- Adanya riwayat atopi.
- Lingkungan dengan kelembaban yang tinggi merupakan faktor risiko untuk untuk tumbuhnya jamur, sehingga dapat timbul gejala alergis.
- Terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi.
PEMERIKSAAN FISIK
- Perhatikan adanya allergic salute, yaitu gerakan pasien menggosok hidung dengan tangannya karena gatal.
Wajah
- Allergic shiners
yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan dengan vasodilatasi atau
obstruksi hidung.
- Nasal crease yaitu
lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui setengah bagian bawah
hidung akibat kebiasaan menggosok hidung keatas dengan tangan.
- Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid).
Pada pemeriksaan faring
- Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).
Pada pemeriksaan rinoskopi:
- Mukosa edema, basah, berwarna pucat atau kebiruan (livide), disertai adanya sekret encer, tipis dan banyak. Jika kental dan purulen biasanya berhubungan dengan sinusitis.
- Pada rhinitis alergi kronis atau penyakit granulomatous, dapat terlihat adanya deviasi atau perforasi septum.
- Pada rongga hidung dapat ditemukan massa seperti polip dan tumor, atau dapat juga ditemukan pembesaran konka inferior yang dapat berupa edema atau hipertropik. Dengan dekongestan topikal, polip dan hipertrofi konka tidak akan menyusut, sedangkan edema konka akan menyusut.
Pemeriksaan kulit bisa ditemukan:
- Dermatitis atopi
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Bila ditemukan dan dapat dilakukan di layanan
primer:
- Hitung eosinofil dalam darah tepi dan sekret hidung.
- Pemeriksaan Ig E total serum
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis: Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan.
Rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic
Rhinitis and it’s Impact on Asthma), 2008, rhinitis alergi dibagi berdasarkan
sifat berlangsungnya menjadi:
- Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
- Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan/atau lebih dari 4 minggu
- Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
- Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.
The rhinitis management (algorithm of
the ARIA-Update recommendations 2008 and 2010)
TATALAKSANA
- Menghindari alergen spesifik
- Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui berkhasiat dalam menurunkan gejala alergis
- Terapi topikal dapat dengan dekongestan hidung topikal melalui semprot hidung. Obat yang biasa digunakan adalah oxymetazolin atau xylometazolin, namun hanya bila hidung sangat tersumbat dan dipakai beberapa hari (< 2 minggu) untuk menghindari rhinitis medikamentosa.
- Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Obat yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal: beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat dan triamsinolon.
- Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida yang bermanfaat untuk mengatasi rinorea karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.
Terapi oral sistemik:
Antihistamin
- Anti histamin generasi 1: difenhidramin, klorfeniramin, siproheptadin.
- Anti histamin generasi 2: loratadin, cetirizine
Terapi lainnya dapat berupa operasi terutama bila
terdapat kelainan anatomi, selain itu dapat juga dengan imunoterapi
REFERENSI
- Small P, Kim H. Allergic rhinitis. Allergy Asthma Clin Immunol. 2011 :1-8
- Demoly P, Calderon MA, Casale T, Scadding G, Annesi-Maesano I, Braun J, Serrano E. Assessment of disease control in allergic rhinitis. Clin Transl Allergy. 2013 ; 3 ; 1-7
- Gupta V, Matreja PS. Efficacy of montelukast and levocetirizine as treatment for allergic rhinitis. J Aller Ther. 2010 ; 1 ; 1-4
- Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens
WJ, Togias A, Rosado‐Pinto J.
Allergic rhinitis and
its impact on
asthma (ARIA) 2008. Allergy. 2008
; 63 ; 8-160
- Irawati, N. Kasakeyan, E. Rusmono, N.Rhinitis Alergi dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007
- Angier E, Willington J, Scadding G, Holmes S, Walker S, British Society for Allergy, Clinical Immunology (BSACI) Standards of Care Committee. Management of allergic and non-allergic rhinitis: a primary care summary of the BSACI guideline. Prim Care Respir J. 2010 ; 19(3), 217-22
- Tran NP, Vickery J, Blaiss MS. Management of rhinitis: allergic and non- allergic. Allergy, asthma & immunol res. 2011 ; 3(3), 148-56
- Soetjipto D, Wardhani RS. Rhinitis Alergi, Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. 2007 ; Hal: 59