Friday, 29 March 2019

PERADABAN DUNIA (Kehidupan masyarakat Indonesia pada masa meramu dan berburu dengan kehidupan bercocok tanam)


Ciri masyarakat pada masa meramu dan berburu dengan masyarakat pada masa bercocok tanam.

No.
Masa meramu dan berburu
Masa bercocok tanam
1.
Hidup berkelompok dengan anggota 5-20 orang. Jumlah manusia purba pleistosin 500 orang. Jumlah mereka kecil karena memang dibatasi oleh manusia itu sendiri. Mereka memusnahkan sebagian yang lahir perempuan, kemudian adanya bencana alam maupun meninggal saat melahirkan.
Hidup menetap
2.
Membuat alat-alat dari batu yang sederhana, yaitu batu bulat yang diikat untuk menjerat binatang.
Mempunyai rumah tempat tinggal
3.
Membuat lubang-lubang untuk menjerat binatang, dengan cara digiring agar masuk lubang yang tersedia sehingga mudah untuk menangkapnya.
Beternak dan berladang
4.
Binatang yang di buru antara lain sebagai berikut.
1. Bibor palaeo sondicus (banteng purba)
2. Bubalos palaeo kerabau (kerbau purba)
3. Stegodon palaeo trigonocephalus (gajah purba)
Bukti adanya binatang yang diburu yaitu ditemukan fosil stegodon palaeo trigonocephalus dalam gua di flores. Fosil ini ditemukan berdekatan dengan lokasi penemuan alat serpih dan kapak perimbas berdasar stratografinya, fosil tersebut termasuk fauna Jetis yang berupa gajah purba pada lapisan bawah. Fauna trinil berupa gajah purba pada lapisan tengah, fauna ngandong berupa badak,lembu, dan kuda nil pada lapisan pleistosin tengah.fosil ini pertama kali di temukan oleh E.Dubois di sumatera barat berupa gigi mawas.
Food producing dan mengenal perdagangan.
5.
Membentuk kelompok kecil dalam berburu agar dapat lebih efektif
Telah terbentuk perkampungan
6.
Mengenal diferensiasi pekerjaan atas dasar jenis kelamin, yaitu laki-laki berburu, sedangkan perempuan mengumpulkan makanan,meramu, dan mendidik anak. Dari kegiatan tersebut, perempuan punya keahlian dalam hal tumbuh-tumbuhan dan cara meramu makanan serta mendidik anak untuk hidup sendiri menjalani hidup berikutnya.
Mengenal pembagian kerja
7.
Mulai menemukan api untuk memasak makanannya.
Setelah daerah perburuan tidak lagi mampu menyiapkan makanan, mereka melakukan migrasi. Akibatnya terjadi hibridisasi hingga muncul beragam populasi.
Mengenal pakaian,gerabah, dan peralatan kerja
8.
Penggunaan alat-alat terdapat kemajuan, antara lain sebagai berikut.
a.       Ditemuka alat bilah yang mempunyai kemajuan teknik dan cara pembuatannya.
b.      Alat dari kayu, tulang, dan tanduk
c.       Homo sapiens mengabdikan budaya berburu dengan melukis pada dinding gua dengan tema binatang buruannya
d.      Mengenal api yang digunakan untuk:
1) Memasak
2) Mengusir binatang buas
3) Menerangi lingkungan
e.       Mulai menggunaka bahsa yang masih sederhana
Mengenal kepercayaan
9.
Mencari makanan hanya untuk kelangsungan hidupnya
Terbentuk masyarakat
10.
Hasil burunya di bawa ke gua
Pmbagian kerja secara jelas
11.
Belum mengenal distribusi hasil buruannya
Gotong royong
12.
Setelah kawasan tidak lagi mampu memenuhi kebutuhannya mereka pindah
Lebih maju dalam penggunaan bahasa
13.
Setelah di temukan alat batu dan tulang hidupnya lebih efektif dan efisien
Aktivitasnya telah menggunakan bahasa komunikasi
14.
Mulai menggunakan mata panah, bilah, dan sudip dalam berburu sehingga tidak perlu banyak orang lagi
Menggunakan bahasa untuk mendistribusikan pekerjaan
15.
Menggunakan anjing untukmembantu keghiatan berburu.
Berkembang tradisi menghormati orang yang lebih tua
16.
Berpindah-pindah (nomaden)
Membuat bangunan megalithikum sebagai manifestasi kepercayaan
17.
Tergantung pada alam
Kehidupan mereka di tentukan oleh kepemilikan tanah
18.

Bercocok tanam: keladi,ubi,sukun,pisang, dan kelapa
19.

Hidup menetap sehingga ada ikatan dengan alam, antarindividu, dan antar keluarga
20.

Punya waktu senggang antara menenem hingga memetik hasil panen, sehingga diisi dengan pekerjaan keterampilan tangan yang dapat mempercepat perkembangan ekonomi
21.

Mengenal barter, yaitu tukar menukar barang dari hasil pertanian,kerajinan tangan,peternakan,maupun hasil buruannya
Perbedaan yang tajam antara masyarakat berburu dan meramu dengan masyarakat bercocok tanam adalah prubahan cara hidup dari nomaden menjadi sedenter (berpindah-pindah menjadi menetap)

PERADABAN DUNIA (Perbedaan Kebudayaan Dongson dan Bacson-hoabinh)


Kebudayaan Đông Sơn adalah kebudayaan zaman Perunggu yang berkembang di Lembah Sông Hồng, Vietnam. Kebudayaan ini juga berkembang di Asia Tenggara, termasuk di Nusantara dari sekitar 1000 SM sampai 1 SM. Kebudayaan Dongson mulai berkembang di Indochina pada masa peralihan dari periode Mesolitik dan Neolitik yang kemudian periode Megalitik. Pengaruh kebudayaan Dongson ini juga berkembang menuju Nusantara yang kemudian dikenal sebagai masa kebudayaan Perunggu Kebudayaan Dongson secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam, yang berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 Sebelum Masehi. Kebudayaan ini sendiri mengambil nama situs Dongson di Tanh hoa. Masyarakat Dongson adalah masyarakat petani dan peternak yang handal. Mereka terampil menanam padi, memelihara kerbau dan babi, serta memancing. Mereka agaknya menetap di pematang-pematang pesisir, terlindung dari bahaya banjir, dalam rumah-rumah panggung besar dengan atap yang melengkung lebar dan menjulur menaungi emperannya. Selain bertani, masyarakat Dongson juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, bukan hanya nelayan tetapi juga pelaut yang melayari seluruh Laut China dan sebagian laut-laut selatan dengan perahu yang panjang.

Kebudayaan Bacson Hoabinh adalah nama tempat di wilayah vietnam utara . Kebudayaan bacson hoabinh berlasung kurang lebih 10000 sampai 4000 SM. Kebudayaan bacson hoabinh adalah kebudayan berburu dan mengumpulkan makanan. Ciri khas kebudayaan bacson hoabinh adalah penyerpihan pada satun atau dua sisi permukaan batu. Sisa kebudayaan ini adalah kapak lonjong, kapak persegi, kapak sumatra, kapak genggam, dan jenis perhiasan dari batu.

No.
Kebudayaan Dongson
Kebudayaan Bacson - Hoabinh
1.
Kebudayaan berkembang di Asia Tenggara, termasuk di Nusantara dari sekitar 1000 SM sampai 1 SM.
Kebudayaan bacson hoabinh berlasung kurang lebih 10000 sampai 4000 SM .
2.
Kebudayaan ini sendiri mengambil nama situs Dongson di Tanh hoa
Sisa kebudayaan ini adalah kapak lonjong, kapak persegi, kapak sumatra, kapak genggam, dan jenis perhiasan dari batu.
3.
Masyarakat Dongson adalah masyarakat petani dan peternak yang handal. Mereka terampil menanam padi, memelihara kerbau dan babi, serta memancing.
Kebudayaan flakes masuk ke Indonesia melalui jalur timur.
4.
Berkembang dari daerah Tongkin di Indo Cina.
Terletak di lembah Sungai Mekong
5.
Peninggalannya berupa Perunggu sebagai bahan pilihan. Benda-benda seperti kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki tiga dengan bentuk yang kaya dan indah.
Bacson berada di daerah pegunungan, sedangkan Hoabinh berada di daerah dateran rendah.

PERADABAN DUNIA (Perbedaan suku bangsa proto-melayu dan deuteron-melayu)


Bangsa Proto Melayu adalah nama yang pernah diberi kepada "gelombang" pertama dari dua "gelombang" migrasi yang dulu diperkirakan terjadi dalam pendudukan Nusantara oleh penutur bahasa Austronesia. Menurut teori "dua gelombang" ini, dalam Proto Melayu di Indonesia dimasukkan : Toraja (Sulawesi Selatan), Sasak (Lombok), Dayak (Kalimantan Tengah), Batak (Sumatera Utara), Nias (pantai barat Sumatera Utara), Rejang, dll.

Melayu Deutero atau Melayu Muda adalah sebutan untuk suku Melayu yang datang pada gelombang kedua setelah Melayu Proto. Asal kedatangan bangsa ini sama dengan bangsa Melayu Tua dan berasal dari ras yang sama yaitu Malayan Mongoloid sehingga tidak memiliki perbedaan fisik yang berarti. Bangsa melayu muda diperkirakan datang pada Zaman Logam (kurang lebih 1500 SM). Suku bangsa di Indonesia yang termasuk melayu muda adalah Aceh, Minangkabau, Jawa, Bali, Makassar, Bugis, Manado, dll



No.
Bangsa Proto Melayu
Bangsa Deutero Melayu
1.
Masa migrasi kelompok ini berlangsung kira-kira selama satu milenium (seribu tahun) antara tahun 3000-1500 SM.
Kemudian berlangsung lagi sekitar 500 SM dari daratan Asia ke pulau-pulau Nusantara.
2.
Menyebar dari daratan Asia ke Semenanjung Melayu, Nusantara, Philipina dan Formosa serta Kepulauan Pasifik sampai Madagaskar.
Deutro Melayu yang mendiami daerah pesisir pantai.
3.
Bangsa ini masuk ke Nusantara melalui dua jalur, yaitu Barat dan Timur.
Kelompok Deutro Melayu juga merupakan Ras Melanosoid (Malayan Mongoloid)
4.
Proto Melayu mendiami daerah pedalaman.
Memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan Proto Melayu. Hanya saja, jika diamati dari keterangan di atas, maka perbedaan antara kelompok Deutro Melayu dengan Proto Melayu dapat dilihat berdasarkan wilayah yang di diaminya, yakni daerah pedalaman dihuni oleh kelompok Proto Melayu dan daerah pesisir pantai didiami oleh para imigran Deutro Melayu.
5.
Bangsa Proto Melayu yang merupakan ras Malayan Mongoloid
Kelompok Melayu Muda ini berkembang menjadi:
  1. Suku Aceh
  2. Suku Minang
  3. Suku Jawa
  4. Suku Bali
  5. Suku Bugis
  6. Suku Makasar
  7. Dan sebagainya
6.
Bangsa Proto Melayu yang merupakan ras Malayan Mongoloid ini memiliki ciri-ciri antara lain: Kulit sawo matang, rambut lurus, badan tinggi ramping, bentuk mulut dan hidung sedang.

7.
Yang termasuk keturunan bangsa ini adalah:
  1. Suku Toraja (Sulawesi Selatan)
  2. Suku Sasak (Pulau Lombok)
  3. Suku Dayak (Kalimantan Tengah)
  4. Suku Nias (Pantai Barat Sumatera)
  5. Suku Batak (Sumatera Utara)
  6. Suku Kubu (Sumatera Selatan




PERADABAN DUNIA (Proses migrasi bangsa Austronesia dari Yunan ke Nusantara)


Kronologi mengenai migrasi bangsa Austronesia dari Yunan ke Nusantara yaitu menurut pendapat para ahli, pada periode 40.000 tahun yang lalu jenis manusia purba Meganthropus, Pithecanthropus dan jenis Homo telah mengalami kepunahan. Penghuni kepulauan Indonesia kemudian bergeser ke manusia-manusia migran yang datang dari berbagai wilayah di Asia dan Australia. Proses migrasi awal menunjukkan bahwa populasi-populasi kepulauan Indonesia berasal dari bangsa Australo-Melanesia (Australoid) dan Mongoloid (atau lebih khusus lagi adalah Mongoloid Selatan). Setelah itu datang lagi gelombang migrasi kedua yaitu bangsa Austronesia (Melayu/Proto Melayu/Melayu Tua) yang berasal dari Yunan (wilayah di propinsi Cina bagian Selatan). Migrasi mereka sendiri ke kepulauan Indonesia berlangsung dalam dua gelombang.

Periode gelombang pertama terjadi pada sekitar tahun 1500 SM, melalui dua jalur utama. Jalur pertama dari Yunan melewati Siam, Malaya dan Sumatera (jalur Barat dan Selatan). Jalur kedua dari Yunan, Vietnam, Filipina kemudian masuk ke Indonesia melalui wilayah Sulawesi (jalur Timur dan Utara). Dalam proses persebarannya mereka membawa kebudayaan neolitikum dari pusatnya di Basson-Hoabinh, yang diantaranya adalah kapak persegi dan kapak lonjong. Suku bangsa Indonesia sekarang yang termasuk keturunan bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu misalnya suku Toraja dan Dayak. Migrasi periode kedua dari bangsa Malayu (Deutro Melayu/Melayu Muda) terjadi pada sekitar tahun 500 SM. Proses persebarannya melalui jalur daratan Asia kemudian Semenanjung Malaya dan masuk ke Indonesia melalui Sumatera. Kedatangan bangsa ini sambil membawa pengaruh budaya logam dari Dongson, seperti nekara, moko, dan kapak perunggu. Suku bangsa Indonesia sekarang yang termasuk keturunan bangsa Melayu Muda atau Deutero Melayu misalnya suku Jawa, Melayu, dan Bugis.

Proses migrasi bangsa Austronesia dari Yunan ke Nusantara terdapat banyak variasi pada teori yang digunakan untuk menelitinya, diantaranya yaitu:

Teori Awal Tentang Yunan

Teori awal tengan asal-usul Bangsa Indonesia dikemukakan oleh sejarawan kuno sekaligus arkeolog dari Austria, yaitu Robern Barron von Heine Geldern atau lebih dikenal von Heine Geldern (1885-1968). Berdasarkan kajian mendalam atas kebudayaan megalitik di Asia Tenggara dan beberapa wilayah di bagian Pasifik disimpulkan bahwa pada masa lampau telah terjadi perpindahan (migrasi) secara bergelombang dari Asia sebelah Utara menuju Asia bagian Selatan. Mereka ini kemudian mendiami wilayah berupa pulau-pulau yang terbentang dari Madagaskar (Afrika) sampai dengan Pulau Paskah (Chili), Taiwan, dan Selandia Baru yang selanjutnya wilayah tersebut dinamakan wilayah berkebudayaan Austronesia. Teori mengenai kebudayaan Austronesia dan neolitikum inilah yang sangat populer di kalangan antropolog untuk menjelaskan misteri migrasi bangsa-bangsa di masa neolitikum (2000 SM hingga 200 SM).

Teori von Heine Geldern tentang kebudayaan Austronesia mengilhami pemikiran tentang rumpun kebudayaan Yunan (Cina) yang masuk ke Asia bagian Selatan hingga Australia. Salah satunya pula yang melandasi pemikiran apabila leluhur Bangsa Indonesia berasal dari Yunan. Teori ini masih sangat lemah (kurang akurat) karena hanya didasarkan pada bukti-bukti kesamaan secara fisik seperti temuan benda-benda arkeologi ataupun kebudayaan megalitikum. Teori ini juga sangat mudah diperdebatkan setelah ditemukannya catatan-catatan sejarah di Borneo (Kalimantan), Sulawesi bagian Utara, dan Sumatera yang saling bertentangan dengan teori Out of Yunan. Sayangnya, masih banyak pendidikan dasar di Indonesia yang masih mempertahankan prinsip ‘Out of Yunan’.

Teori Linguistik

Teori mengenai asal-usul Bangsa Indonesia kemudian berpijak pada studi ilmu linguistik. Dari keseluruhan bahasa yang dipergunakan suku-suku di Nusantara memiliki rumpun yang sama, yaitu rumun Austronesia. Akar dari keseluruhan cabang bahasa yang digunakan leluhur yang menetap di wilayah Nusantara berasal dari rumpun Austronesia di Formosa atau dikenal dengan rumpun Taiwan. Teori linguistik membuka pemikiran baru tentang sejarah asal-usul Bangsa Indonsia yang disebut pendekatan ‘Out of Taiwan’. Teori ini dikemukakan oleh Harry Truman Simandjuntak yang selanjutnya mendasar teori moderen mengenai asal usul Bangsa Indonesia. Pada prinsipnya, menurut pendekatan ilmu linguistik, asal-usul suatu bangsa dapat ditelusuri melalui pola penyebaran bahasanya. Pendekatan ilmu linguistik mendukung fakta penyebaran bangsa-bangsa rumpun Austronesia. Istilah Austronesia sendiri sesungguhnya mengacu pada pengertian bahasa penutur. Bukti arkeologi menjelaskan apabila keberadaan bangsa Austronesia di Kepulauan Formosa (Taiwan) sudah ada sejak 6000 tahun yang lalu. Dari kepulauan Formosa ini kemudian bangsa Austronesia menyebar ke Filipina, Indonesia, Madagaskar (Afrika), hingga ke wilayah Pasifik. Sekalipun demikian, pendekatan ilmu linguistik masih belum mampu menjawab misteri perpindahan dari Cina menuju Kepulauan Formosa.

Pendekatan Teori Genetika

Teori dengan pendekatan ‘Out of Taiwan’ nampaknya semakin kuat setelah disertai bukti-bukti berupa kecocokan genetika. Riset genetika yang dilakukan pada ribuan kromosom tidak menemukan kecocokan pola genetika dengan wilayah di Cina. Temuan ini tentunya cukup mengejutkan karena dianggap memutuskan dugaan gelombang migrasi yang berasal dari Cina, termasuk di antaranya pendekatan ‘Out of Yunan’. Sebaliknya, kecocokan pola genetika justru semakin memperkuat pendekatan ‘Out of Taiwan’ yang sebelumnya juga dijadikan dasar pemikiran arkeologi dengan pendekatan ilmu linguistik.

Dengan menggunakan pendekatan ilmu linguistik dan riset genetika, maka asal-usul Bangsa Indonesia bisa dipastikan bukan berasal dari Yunan, akan tetapi berasal dari bangsa Austronesia yang mendiami Kepulauan Formosa (Taiwan). Direktur Institut Biologi Molekuler, Prof. Dr Sangkot Marzuki menyarankan untuk dilakukan perombakan pandangan yang tentang asal-usul Bangsa Indonesia. Dari pendekatan genetika menghasilkan beragam pandangan tentang pola penyebaran bangsa Austronesia. Hingga saat ini masih dilakukan berbagai kajian mendalam untuk memperkuat pendugaan melalui pendekatan linguistik tentang pendekatan ‘Out of Taiwan’.

Jalur Migrasi

Jalur migrasi berdasarkan pendekatan ‘Out of Taiwan’ bertentangan dengan pendekatan ‘Out of Yunan’. Pendekatan ‘Out of Yunan’ menerangkan migrasi Austronesia bermula dari Utara menuju semenanjung Melayu yang selanjutnya menyebar ke wilayah Timur Indonesia. Pendekatan ‘Out of Yunan’ dapat dilemahkan setelah ditelusuri berdasarkan pendekatan linguistik dan diperkuat pula oleh pembuktian genetika. Berdasarkan pendekatan ‘Out of Taiwan’, migrasi leluhur dari Taiwan (Formosa) tiba terlebih dulu di Filipina bagian Utara sekitar 4500 hingga 3000 SM. Diduga migrasi dilakukan untuk memisahkan diri mencari wilayah baru di Selatan. Akibat dari migrasi ini kemudian membentuk budaya baru, termasuk diantaranya pembentukan cabang bahasa yang disebut Proto-Malayo-Polinesia (PMP). Teori migrasi awal bangsa Austronesia dari Formosa disampaikan oleh Daud A. Tanudirjo berdasarkan pandangan pakar linguistik Robert Blust yang menerangkan pola penyebaran bangsa-bangsa Austronesia.

Pada tahap selanjutnya sekitar 3500 hingga 2000 SM terjadi migrasi dari Masyarakat yang semula mendiami Filipina dengan tujuan Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara. Migrasi yang berakhir di Maluku Utara ini kemudian meneruskan migrasinya sekitar tahun 3000 hingga 2000 SM menuju ke Selatan dan Timur. Migrasi di bagian Selatan menuju gugus Nusa Tenggara, sedangkan di bagian Timur menuju pantai Papua bagian Barat. Dari Papua Barat ini kemudian mereka bermigrasi lagi dengan tujuan wilayah Oseania hingga mencapai Kepulauan Bismarck (Melanesia) sekitar 1500 SM.

Pada periode 3000 hingga 2000 SM, migrasi juga dilakukan ke bagian Barat yang dilakukan oleh mereka yang sebelumnya menghuni Kalimantan dan Sulawesi menuju Jawa dan Sumatera. Selanjutnya, hijrah pun diteruskan menuju semenanjung Melayu hingga ke seluruh wilayah di Asia Tenggara. Proses migrasi berulang-ulang dan menghabiskan masa ribuan tahun tidak hanya membentuk keanekaragaman budaya baru, akan tetapi juga pola penuturan (bahasa) baru.

Penutup

Teori asal-usul Bangsa Indonesia dengan pendekatan ‘Out of Taiwan’ saat ini adalah teori paling mendukung karena disertai bukti linguistik dan genetika. Kesamaan pola budaya Megalitikum hanya bisa menjelaskan pola variasi budaya, akan tetapi belum mampu untuk menjelaskan arus migrasi pertama kali. Pendekatan ‘Out of Taiwan’ pun bukannya tanpa celah. Seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr Sangkot Marzuki, teori mengenai keberadaan bangsa Austronesia berdasarkan pendekatan genetika juga masih beragam dan belum menemukan titik temu. Jika ditanya motif suku-suku bangsa ketika itu untuk menggabungkan diri ke dalam NKRI bukanlah semata didasarkan atas kesamaan nasib. Kesamaan asal usul leluhur sangat dimungkinkan bagi melatarbelakangi keinginan untuk menyatukan kembali menjadi suatu bangsa. Kedatangan kolonial Eropa yang meng-kapling wilayah menyebabkan suku-suku bangsa di wilayah penyebaran Austronesia menjadi terpisah secara politik satu dengan yang lain. Tidak mengherankan apabila catatan sejarah Majapahit dan Sriwijaya wilayah meng-klaim Nusantara sebagai wilayah kekuasaan Austronesia.

Kisah tentang sejarah asal-usul Bangsa Indonesia sesungguhnya masih belum terungkap penuh. Temuan terbaru dari Prof. Dr Sangkot Marzuki bahkan menyatakan jika penyebaran bangsa dengan bahasa Austronesia berawal dari wilayah Sunda (Jawa Barat). Perlu kiranya pemikiran atau teori baru tentang asal-usul Bangsa Indonesia dikaji ulang. Untuk awal, setidaknya dengan membebaskan terlebih dahulu paham ‘Out of Yunan’.

Sekalipun belum ditemukan bukti-bukti genetika secara meyakinkan, suku bangsa Austronesia yang menempati gugus kepulauan Formosa (Taiwan) diduga kuat bermigrasi dari wilayah Utara (Cina). Rumpun bahasa Austronesia dan keluarga bahasa lainnya di Asia Tenggara merupakan filum Bahasa Austrik. Dilihat dari kekerabatan linguistik (hipotesis filum Austrik), semua bahasa di wilayah Tiongkok bagian Selatan memiliki kedekatan (kekerabatan) dengan rumpun Bahasa Austrik. Jika hendak ditarik benang merahnya, maka diskriminasi rasial tidak perlu terjadi di negeri ini. Dengan memahami sejarah masa lalu dirinya sendiri, setidaknya bangsa ini akan lebih bijaksana dalam memberikan sikap.


GEGURITAN : MATERI BAHASA JAWA

Geguritan = gurita = grita = gita. Geguritan iki kawiwitan saka carita Bharatayuda, Pendawa lawan Kurawa. Nalika senopatine Pendawa yaiku Bh...