DEFINISI
Hiperplasia kelenjar periurethral yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah.
ANATOMI
Prostat adalah glandula asesoris terbesar pada sistem reproduksi pria (ukuran panang 3x4x2 cm). Prostat mengelilingi urethra pars prostatica. Dua pertiga tersusun oleh glandula, dan sepertiganya oleh jaringan fibromuskular. Memiliki kapsul fibrosa yang tebal dan neurovskular (pleksus prosatika terdiri dari vena dan serabut saraf. Semuanya diselubungi oleh fasia pelvika lapisan visceral membentuk lapisan fibrosa prostatika yang tipis pada bagian anterior, berlanjut anterolateral menyatu dengan lig. Puboprostatica, dan menebal ke posterior menyatu dengan septum rectovesika.
Prostat berbatasan:
- Pada basis berbatasan dengan leher vesika
- Pada apek kontak dengan bagian superior dari spincter urethra dan muskulus perineum dalam.
- Pada permukaan anterior dipisahkan dengan simphisis pubis oleh retroperitoneal fat pada spasium retropubicum.
- Permukaan posterior berhubungan dnegan ampula recti
- Permukaan inferolateral berhubungan dengan levator ani
Pembagian Lobus:
- Isthmus (lobus anterior), melekat pada anterior urethra. Merupakan struktur fibromuskular representasi dari lanjutan ke atas m spinchter urethra eksterna ke leher vesika dan terdiri dari sedikit struktur glandula.
- Lobus Kanan/Kiri, dipisahkan oleh isthmus pada bagian anterior dan posterior oleh zona sentralis.
- Lobus infero posterior: melekat pada posterior urethra dan inferior dari ductus ejakulatorius. Terpalpasi pada pemeriksaan colok dubur.
- Lobus infero posterior: lateral dari urethra, membentuk bagian mayor dari lobus kanan/kiri.
- Lobus supero medial, mengelilingi ductus ejakulatorius
- Lobus anteromedial, lateral dari urethra proksimal
ETIOLOGI
Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan testosterone dan estrogen karena produksi testosterone menurun dan terjadi konversi testosterone menjadi estrogn pada jaringan adipose di perifer. Berdasarkan angka autopsy perubahan mikroskopis prostat sudah ditemukan pada usia 30-40 th. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang, akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada usia 50 th, angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada 80 th sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut akan menyebabkan gejala dan tanda klinis.
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan, efek perubahan juga terjadi perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesica dan darah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistosopi akan terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi. Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat detrusor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar disebut divertikulum. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut, detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.
PATHOPHYSIOLOGY
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan obstruksi saluran kemih adalah penderita harus menunggu keluarnya kemih pertama, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, dan dysuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini diberi skor untuk menentukan berat keluhan klinis.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih, dan timul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi, pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan imtra vesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjad lebih tinggi dari pada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakann ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga lama-kelamaan akan menyebabkan hernia atau hemorrhoid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhanan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pyelonephritis.
GAMBARAN KLINIS
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran konsistensi prostat (pada pembesaran prostat jinak konsistensisnya kenyal, adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba. Pada karsinoma prostat, prostat terabakeras atau teraba benjolan yang konsistensinya lebih keras dari pada sekitarnya atau ada prostat asimetri dengan bagian yang lebih keras. Dengan colok dubur juga bisa diketahui batu prostat bila teraba krepitasi.
Derajat berat dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi melakukan intervensi pada hyperplasia prostat.
Derajat berat obstuksi juga bisa diukur dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri.
Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6-8 ml/detik, sedangakan maksimal pancaran menjadi 15 ml/deti atau kurang. Kelemahan detrusor dan obstruksi intra vesikal tidak dapat dibedakan dengan pengukuran pancaran kemih.
Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis. Tindakan untuk menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan secara teratur.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto polos perut dan IVP bisa melihat keterangan mengenai penyakit yang mengikuti seperti batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikulum kandung kemih. Jika foto dilakukan setelah miksi, dapat dilihat sisa urin. Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung, pembesaran prostat bisa diperkirakan bila pembesaran buli-buli pada gambaran sistogram tampak terangkat atau ujung disatal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail. Apabila fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau penderita sudah dipasang kateter menetap dapat dilakukan sistogram retrograd.
Ultrasonografi dapat dilakukan secara transabdominal atau transrektal. Selain untuk mengetahui pembesaran prostat, pemeriksaan ultrasonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain seperti divertikulum, tumor, dan batu. Dengan ultrasonografi transrektal, dapat diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat pula dilakukan dengan ultrasonografi suprapubik. CT-scan atau MRI jarang dilakukan.
DIAGNOSIS BANDING:
Kelemahan detrusor kandung kemih
- gangguan neurologic
- kelainan medulla spinalis
- neuropati diabetes mellitus
- pasca bedah radical di pelvis
- farmakologik (obat penenang, antagonis alfa, parasimpatolitik)
- fibrosis
- hiperplasia prostat ganas/jinak
- kelainan yang menyumbat uretra
- uretralitiasis
- uretritis akut/kronik
TATA LAKSANA
Klasifikasi untuk berat gangguan miksi dengan WHO PSS (WHO Prostate Symptom Score. Terapi non bedah dianjurkan jika skor WHO PSS < 15. Terapi bedah dianjurkan jika WHO PSS > 25 atau timbul obstruksi.
Derajat pembesaran prostat:
Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin
I Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba <50cc
II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai 50-1000cc
III Batas atas prostat tidak dapat diraba >100cc
IV Retensi urin
Penderita derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif, misalnya dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti alfazosin, prazosin, terazosin, dan tamsulosin.
Derajat dua merupakan indikasi untuk dilakukan pembedahan. Biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (trans uretral resection, TUR). Kadang dapat dicoba dengan pengobatan konservatif.
Derajat tiga reseksi endoskopik dapat dilakukan oleh pembedah yang cukup berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar dan reseksi tidak selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal, retropubik atau perineal. Operasi melalui kandung kemih dibuat sayatan perut bagian bawah menurut pfannenstiel, kemudian prostat dienukleasi dari dalam simpainya. Keuntungan teknik ini adalah dapat sekaligus dapat sekaligus untuk mengangkat batu buli-buli atau divertikelektomi apabila ada divertikulum yang cukup besar. Cara pembedahan retropubik menurut millin dikerjakan melalui sayatan kulit Pfannesnstiel dengan membuka simpai prostat tanpa membuka kandung kemih,
Derajat empat, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistostomi. Setelah itu dengan terapi definitive dengan TUR atau bendah terbuka.
Cara minimal invasive lain: TUMT( trans urethral microwave therapy), TULIP (transurethral ultrasound guided laser induced prostatectomy), TUBD (transurethral balloon dilatation.
REFERENSI:
Moore, K. et al. (2010). Clinically Oriented Anatomy Sixth Edition. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins.
Sjamsuhidajat, R. et al. (2011). Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong Edisi 3. Jakarta: EGC.