ETIOLOGI:
- High energy mechanism : kecelakaan lalu lintas
- Low energy injury : jatuh ketika berjalan
EPIDEMIOLOGI:
Pada populasi anak-anak, 80% fraktur siku terjadi pada region supracondier. Cidera terjadi pada anak laki-laki usia 5-10 th.
PATOFISIOLOGI/MEKANISME:
Ada dua jenis fraktur suprakondiler, yaitu jenis ekstensi yang sering terjadi dan jenis fleksi yang jarang terjadi. Jenis ekstensi terjadi karena trauma langsung pada humerus distal melalui benturan pada siku saat lengan bawah dalam posisi supinasi dan siku dalam posisi ekstensi dengan tangan yang terfiksasi. Fragmen distal humerus akan terdislokasi ke arah posterior terhadap korpus humerus. Fraktur suprakondiler jenis fleksi (biasanya pada anak) terjadi akibat jatuh pada telapak tangan dengan tangan dan lengan bawah dalam posisi pronasi dan siku dalam posisi sedikit fleksi.
GEJALA KLINIS:
Pada pemeriksaan fisik didapatkan siku yang bengkak dengan sudut jinjing yang berubah dan tanda fraktur yang jelas. Sangat penting diperiksa adanya gangguan peredaran darah dan lesi saraf tepi. Jika terdapat gejala 5P, yaitu pain (nyeri), paresthesia, pallor (pucat), pulselessness (tidak teraba denyut nadi distal), dan paralisis harus dicurigai adanya sindrom kompartemen yang dapat menyebabkan kontraktur otot iskemia Volkmann. Pada lesi nervus radialis terdapat ketidakmampuan melakukan ekstensi jari pada sendi metakarpofalangeal. Terdapat juga gangguan sensorik di sisi dorsal sela metacarpal I. Pada lesi nervus ulnaris didapatkan ketidakmampuan melakukan abduksi dan adduksi jari. Gangguan sensoriknya didapati pada bagian volar jari V. Pada lesi n. medianus, didapati ketidakmampuan melakukan opisisi ibu jari. Gangguan sensoriknya didapati pada bagian volar ibu jari. Sering juga terjadi lesi pada cabang saraf medianus, yaitu n. interoseus anterior. Gangguan saraf ini akan menyebabkan ketidakmampuan jari I dan II untuk melakukan fleksi.
TATALAKSANA:
Reposisi fraktur suprakondiler pada anak dilakukan dibawah narcosis umum. Pasien tidur terlentang, asisten memegang lengan atas pada bagian ketiak pasien, dan operator menarik lengan bawah dengan siku dalam posisi ekstensi. Bila telah tercapai reposisi, perlahan-lahan, sambil tetap menarik lengan bawah, siku difleksikan sambil meraba arteri radialis. Bila arteri radialis masih teraba, fleksi siku dapat ditambah. Fleksi maksimal akan menyebabkan tegangnya otot trisep yang akan memfiksasi reposisi lengan dengan baik tapi dapat mengganggu peredaran darah. Setelah reposisi selesai, dilakukan imobilisasi dengan gips pada lengan bawah dalam posisi pronasi (bila fragmen distal dislokasi ke arah medial) atau dalam posisi supinasi (bila fragmen distal dislokasi ke arah lateral).
Bila reposisi berhasil, satu minggu kemudian, dibuat foto roentgen kontrol karena dalam satu minggu bengkak akibat hematom dan udem telah berkurang, sehingga gips menjadi kendur dan mengubah posisi fragmen fraktur kembali. Gips harus dilepas dan dibuat yang baru yang lebih pas. Gips yang baik tetap dibiarkan selama tiga minggu. Setelah tiga minggu, gips dibuka dan diganti mitella agar pasien bisa mulai melatih gerakan fleksi ekstensi. Umumnya penyembuhan fraktur suprakondiler berlangsung cepat dan tanpa gangguan.
Bila reposisi gagal, atau bila terdapat gejala iskemia Volkmann atau lesi saraf tepi, tindakan pertama adalah menghilangkan posisi fleksi siku. Bila tindakan ini menghilangkan gejala iskemia, posisi siku yang agak ekstensi tersebut dipertahankan. Bila tindakan ini tidak berhasil menghilangkan segera gejala iskemia, perlu dilakukan operasi untuk membebaskan atau memulihkan arteri dan reposisi fraktur dilakukan secara operatif atau reposisi dengan cara traksi.
Berbeda dengan fraktur pada anak, fraktur suprakondiler pada dewasa sering menghasilkan fragmen distal yang kominutif dengan garis fraktur berbentuk T atau Y. Mekanisme trauma dan tanda klinis tidak berbeda dengan fraktur pada anak. Penanganan fraktur pada orang dewasa lebih banyak bersifat operatif, yaitu reposisi terbuka dan fiksasi fragmen fraktur dengan fiksator yang kokoh, yang memungkinkan gerakan dini sendi siku. Hal ini dikerjakan agar tidak terjadi kekakuan siku akibat perlengketan sendi.
REFERENSI:
Moore, K. et al. (2010). Clinically Oriented Anatomy Sixth Edition. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins.
Sjamsuhidajat, R. et al. (2011). Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong Edisi 3. Jakarta: EGC.