Saturday, 23 January 2021

RESENSI DAN REVIEW: LOMBA MENULIS CERITA PENDEK 2006

 

Judul : 23 Naskah Terbaik: Lomba Menulis Cerita Pendek Tahun 2006
Pengarang :
PROGRAM KHUSUS
  1. M. Risman Halawa, dengan cerpen berjudul “Kisah yang Lain”.
  2. Sobri, S. Pd, dengan cerpen berjudul “Vonis”.
  3. Drs. Askolani, dengan cerpen berjudul “Boven Digul”.
  4. M. Shoim Anwar, dengan cerpen berjudul “Di Bawah Matahari”.
  5. Herni Fauziah, dengan cerpen berjudul “Hujan Belum Akan Reda Berhentilah Menangis”.
  6. Yusmadi, S. Pd, dengan cerpen berjudul “Mak Lon Gaseh”.
  7. Iwan Yusi, S. Pd, dengan cerpen berjudul “Rangkahirang”.
PROGRAM REGULER
  1. Mezra Elisabeth Pellondou, S. Pd, dengan cerpen berjudul “Manusia – Manusia Jendela”.
  2. Siti Aisyah, dengan cerpen berjudul “Awaludin dan Dolores”.
  3. Drs. Abdul Aziz, dengan cerpen berjudul “Pengaduan Burung”.
  4. Vivin Novianti, S. Pd, dengan cerpen berjudul “Para di Para – Para”.
  5. Drs. Suheri, dengan cerpen berjudul “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo (Cerita Pendek Berdasarkan Puisi W.S. Rendra)”.
  6. Dra. Erma Br. Ginting, dengan cerpen berjudul “Secercah Senyum Untuk Ibu”.
  7. Dra. Euis Sulastri, dengan cerpen berjudul “Eksekusi”.
  8. Bahar, S. Pd, dengan cerpen berjudul “Titisan Timur di Hokaido”.
  9. Ida Royani, S. Pd, dengan cerpen berjudul “Santet”.
  10. Drs. H. Hasanuddin, dengan cerpen berjudul “Kedamaian di Ulang Tahun Mama”.
  11. Saumu Choiriyah Wijayati, S. Pd, dengan cerpen berjudul “Kasihmu di Mataku”.
  12. Tamar Saraseh, dengan cerpen berjudul “Orang – Orang yang Tercoret Namanya”.
  13. Drs. Hapazah, dengan cerpen berjudul “Peresean”.
  14. Dra. Susi Purwani, dengan cerpen berjudul “Sebuah Ultimatum”.
  15. Purwatiningsih, S. Pd, dengan cerpen berjudul “Duka Tukirah”.
  16. Ramli A. Bangga, S. Pd, dengan cerpen berjudul “Kartika Juniarty”.
Penerbit         : DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL, Direktorat Jenderal Manajemen 
                                  Pendidikan Dasar dan Menengah, Kegiatan Pembinaan Pendidikan Estetika
                                  Jakarta 2007.
Tempat terbit : Jakarta
Tebal buku : vii + 169 halaman
Warna Sampul : Hijau dan kuning
Tahun terbit : Maret 2007
Ukuran buku : 23, 5 x 17, 5 cm

    Membaca dan Menulis adalah sebuah tindakan dan kegiatan yang perlu dikembangkan dan dibudayakan. Penguasaan ilmu pengetahuan sejatinya lebih banyak ditentukan oleh seberapa besar minat dan kemauan seseorang dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis.

Resensi ini mengulas sinopsis salah satu cerpen dari 23 cerpen yang ada. Cerpen tersebut berjudul Di Bawah Matahari, ditulis oleh seorang guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Beliau mengajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA Al Hikmah, Jalan Kebonsari Eveka V Surabaya 60233. Beliau beralamat di Jalan Bumi Indah 26, Balongsari, Surabaya, Jawa Timur. Beliau adalah M. Shoim Anwar.

Di Bawah Matahari, cerpen yang mengandung unsur budaya Madura. Diceritakan terdapat seorang juragan sapi bernama Haji Durajak. Dia mempunyai beberapa pasang sapi kerapan. Haji Durajak berasal dari Pulau Sapudi. Ayahnya adalah seorang pedagang dan perekrut tenaga kerja yang sering bepergian ke Malaysia. Dia diajak pindah ketika berumur tiga belas tahun. Dari Pulau Sapudi itulah konon sejarah kerapan sapi dimulai. Dahulu, ketika para petani beristirahat saat mengerjakan sawah, mereka mengadu sapinya untuk berlari. Ini dipakai untuk mengisi waktu. Tradisi itu berkembang dan menyebar ke seluruh Madura dan sebagian Jawa Timur, bahkan sampai ke wilayah Bali. Hingga saat ini, Pulau Sapudi masih dipercaya sebagai penghasil sapi kerapan yang baik. Sebagian sapi yang dijadikan jago oleh Haji Durajak juga didatangkan dari sana.

Haji Durajak juga seorang juragan tembakau. Musim kemarau seperti ini banyak orang menjual tembakaunya. Ada empat orang bekerja di gudang Haji Durajak. Letak gudang berada di sebelah kiri rumah. Para petani lebih suka menjual tembakau pada Haji Durajak karena dibayar langsung dan cepat. Mereka tidak ingin dipermainkan oleh perwakilan pabrik rokok yang membuka pergudangan. Di samping sering mempermainkan harga, hasil pertanian penduduk itu lebih sering dihutang dahulu oleh pihak gudang. Kehadiran Haji Durajak sebagai tengkulak ternyata memakmurkan para petani tembakau.

Haji Durajak mempunyai seorang istri bernama Hajjah Rohmah, dua orang anak yang sudah berkeluarga, dan seorang anak angkat bernama Matraji. Matraji masih sekolah. Matraji mengabdikan diri kepada keluarga Haji Durajak sejak ayahnya meninggal tiga tahun yang lalu karena perahunya digulung ombak. Ia adalah anak sulung dari enam bersaudara. Ibunya melarang Matraji melaut karena tak ingin pengalaman buruk terulang. Ibu Matraji bekerja sebagai pedagang asongan di terminal bus.

Pekerjaan Matraji di rumah Haji Durajak memang banyak. Dia harus bangun pagi – pagi. Usai dari surau, dia langsung memanaskan air, ikut membantu mengeluarkan sapi, membersihkan kandang, memandikan dan membilas sapinya dengan air hangat, setelah itu memberinya rumput. Pekerjaan berikutnya adalah membersihkan sangkar – sangkar perkutut serta mengntrol makan dan minumnya. Barulah setelah itu dia mempersiapkan diri untuk sekolah. Sore hari dia ikut melatih sapi – sapi di lapangan atau mencari rumput. Urusan sekolah dan mengaji dikerjakan setelah salat maghrib.

Matraji sangat senang di rumah Haji Durajak, dia bisa makan sampai kenyang, uang saku dan biaya sekolah tercukupi. Dia lincah dan bertubuh kecil sehingga cocok untuk penunggang sapi. Dua penunggang lainnya yang ikut Haji Durajak, Mustopa dan Mukri, tubuhnya sudah terlalu besar sehingga bisa memberatkan sapi. Mereka hanya cocok untuk latihan saja, sedangkan saat bertanding, Matraji yang paling pas jadi jokinya.

Pertandingan kerapan sapi pun dimulai. Matraji dan Haji Durajak dengan pasangan sapinya “Joko Tole” masuk ke babak final. Terdapat dua pasang sapi lainnya yang masuk ke babak final, yaitu “Potre Koneng” milik Haji Rohman dan “Kek Lessap” milik Haji Sarbini.

Para penonton minggir dan berusaha mencari perlindungan dari sengatan matahari. Udara di lapangan yang gersang terasa mendidih. Matahari menancap tegak lurus di atas ubun – ubun. Angin kering dari arah tenggara sesekali berhembus di lapangan. Para penonton menunggu mulainya babak final yang bertarung memperebutkan kehormatan sebagai sang juara.

Dulrokim, perawat “Joko Tole” bergegas mengambil jamu ketika air liur sapi Haji Durajak terlihat menetes – netes. Jamu tersebut dimasukkan ke dalam bumbung dari bambu. Moncong sapi itu diarahkan ke atas dan bumbung yang berisi jamu itu diminumkan ke sapi Haji Durajak. Ramuan yang terdiri atas anggur, arak, gingseng, telur, jahe, cuka, kopi, madu, air cabai, kunyit, dan air kelapa ini membuat tubuh sapi terlihat lebih aktif.

Haji Durajak juga memanggil orang pintar untuk memagari “Joko Tole” dari segala macam santet. Lelaki tua berbaju hitam itu melaksanakan tugas untuk menolak segala bala yang bisa mengganggu “Joko Tole”. Tangan lelaki tua itu menggenggam garam dan ditabur keliling lapangan.

Panitia mengumumkan bahwa babak final segera dimulai. Panitia berdiri pada garis pemberangkatan dan juri berada di garis akhir. Babak final pun dimulai. Semua tegang dan bersorak – sorak mendukung jagoannya masing – masing. Ketiga pasangan sama hebatnya dan sama kuatnya. Mereka saling menyusul. Saat mendekati garis akhir, “Joko Tole” dan “Potre Koneng” di depan sedangkan “Kek Lessap” berada di belakang. Panitia mengumumkan tidak ada yang lebih dahulu melewati garis akhir dan menyatakan bahwa pertandingan draw. Tentu saja hal itu mengecewakan para penonton.

Tiba – tiba ada seorang wartawan yang menonton dengan merekam pertandingan dari awal hingga akhir. Ia akan memutar rekaman dengan adegan lambat. Semua peserta setuju dengan keputusan wartawan itu. Wartawan membenahi peralatannya. Ia mulai menekan tombol pada kamera. Semua mata tertuju pada kamera. Adegan lambat telah berjalan. Kedua pasang sapi tampak bergerak lambat. Makin mendekat garis akhir dan “Potre Koneng” yang lebih dahulu melewati garis akhir. Semua pendukung bersorak lega. Haji Durajak dan Haji Rohman saling bersalaman dan menepuk pundak. Mereka sadar, membangun persaudaraan dan kesatuan memang yang utama, sedangkan kalah menang tidak menjadi masalah.

Buku Kumpulan Cerpen ini tidak dijual untuk umum tapi didistribusikan ke perpustakaan – perpustakaan sekolah dengan harapan akan menambah jumlah koleksi buku – buku bacaan sastra yang telah ada. Buku ini bagus karena dapat menambah inspirasi bagi para siswa. Buku ini juga berdampak baik pada kebiasaan siswa, yaitu meningkatkan kebiasaan menulis dan membaca. Kisah – kisah inspiratif yang dipaparkan oleh pengarang pun dapat menambah wawasan pembaca.

Akan tetapi, ada beberapa kekurangan dalam buku ini. Cover buku ini tidak menarik karena hanya terdapat tulisan dan gambar ‘tangan’. Seharusnya, cover dibuat menarik karena cover sangat penting. Cover dapat menarik hati pembaca untuk kali pertamanya sebelum pembaca membaca judul buku. Di dalam buku ini juga terdapat kekurangan yang lainnya. Kekurangan tersebut berupa kesalahan dalam menulis. Buku ini memang sudah disunting seperti yang telah dipaparkan Dr. Bambang Indriyanto, M. Sc, “Setelah dikumpulkan dan disunting, buku tersebut lantas diterbitkan menjadi buku yang enak dibaca.” Akan tetapi, masih terdapat banyak kesalahan dalam menulis walaupun sudah disunting, terutama dalam menulis judul cerpen. Seperti kata ‘yang’ dan ‘di’ pada judul, diawali dengan huruf kapital. Seharusnya kata hubung seperti ‘yang’ dan ‘di’ pada judul, diawali huruf kecil. Contoh lain adalah kesalahan menulis karena tidak sesuai dengan aturan EYD, seperti ‘cabai’ ditulis ‘cabe’, ‘telur’ ditulis ‘telor’, ‘hutang’ ditulis ‘utang’, ‘dahulu’ ditulis ‘dulu’, dan masih banyak lagi. Beberapa cerpen di dalam buku ini juga memuat kata – kata yang tidak dimengerti para pembaca karena menggunakan bahasa daerah. Keterangan dari bahasa daerah tersebut terdapat di akhir cerpen, bukan di bagian paling bawah setiap halaman. Hal ini tentu akan menyulitkan para pembaca dalam mencari arti kata yang tidak dimengerti. Selain itu,  tidak semua judul dalam 23 Naskah Terbaik ini singkat, jelas, dan menarik. Hal ini disebabkan penggunaan kata dalam memilih judul tidak komunikatif. Untuk mengerti arti dari judul tersebut, pembaca harus membaca cerpen itu sampai akhir terlebih dahulu. Seperti “Boven Digul” dan “Mak Lon Gaseh”.

Buku kumpulan cerpen ini dapat memotivasi para siswa untuk meningkatkan kebiasaan menulis dan membaca. Dengan buku ini juga, para siswa akan mendapat banyak inspirasi untuk mengembangkan kebiasaan menulis dan membacanya.

GEGURITAN : MATERI BAHASA JAWA

Geguritan = gurita = grita = gita. Geguritan iki kawiwitan saka carita Bharatayuda, Pendawa lawan Kurawa. Nalika senopatine Pendawa yaiku Bh...